Mendengar nama Tibet, yang sekilas muncul di kepala adalah Dalai Lama. Berikutnya adalah negara terisolasi, terkecilkan, negara yang dulu belum merdeka, dan negara yang sepertinya damai sejuk tenang dengan kebijakan para biksu.
Status Tibet dulu akhirnya membuat Tibet seperti negara "tertutup". Atau mungkin memang dibuat seperti itu, penulis kurang memahami betul sejarahnya.
Film ini ingin memberikan gambaran bahwa ada yang dapat menembus status sosial Tibet, yaitu dengan sepakbola. Demam sepakbola melalui event World Cup berhasil menembus "status" Tibet. Itulah gema Piala Dunia yang memang membius seluruh dunia untuk memusatkan perhatian pada salah satu perhelatan olahraga terbesar di dunia.
Gema Piala Dunia itu kemudian menjadi konflik disini. Demi Piala Dunia, mereka menjadi sedikit berkurang dalam disiplin karena beberapa pertandingan justru berlangsung di saat mereka harus istirahat malam.
Temanya menarik. Unik. Sayangnya, setelah ditampilkan, kurang begitu maksimal. Akting para pemerannya kurang begitu menarik. Terasa sedikit kaku. Beberapa momen kecil untuk rasa komedinya juga terasa hambar garing.
Pesan moral film ini adalah kuatnya gema Piala Dunia menyentuh sudut-sudut yang terkucilkan oleh dunia luar. Lainnya, film ini juga berpesan untuk tidak menyaksikan pertandingan dengan berjudi. Merugi sendiri.
The Cup (1999) - 6/10
Comments
Post a Comment